Republik Lan Fang 兰芳公司历代年册 , nama yang pernah
di bentuk oleh orang orang Hakka dari Kwangtung pada akhir abad ke-18. Republik
ini berlangsung selama 107 tahun dan mencatat 10 presiden yang pernah memimpin
republik di Kalimantan Barat. Berikut lanjutan catatan dari
penelitian pustaka sejarah Tionghoa di Kalimantan Barat.
LO FANG PAK [Lo Thai Pak] mulai
bertualang pada usia 34 tahun. Dia merantau ke Kalimantan Barat saat ramainya
orang mencari emas (Gold Rush), dengan menyusuri Han Jiang menuju Shantao,
sepanjang pesisir Vietnam, dan akhirnya berlabuh di Kalimantan Barat. Ketika
itu Sultan Panembahan yang percaya bahwa orang Tionghoa adalah pekerja keras
membawa 20 pekerja Tionghoa dari Brunei. Sultan Omar juga mendengar tentang
ketekunan orang Tionghoa memanfaatkannya melalui sistem kontrak lahan kepada
orang Tionghoa guna membuka kawasannya.
Ketika Lo Fang Pak sampai di Kalimantan
Barat, Belanda belum secara agresif merambah ke Kalimantan. Di pesisir banyak
didiami orang Jawa dan Bugis, yang mana daerah ini dikuasai oleh Sultan, dan bagian
pedalaman didiami oleh orang Dayak, kendati batas teritorialnya tidak jelas.
Pada permulaan tahun 1740, jumlah
orang Tionghoa hanya beberapa puluh saja di sana. Pada tahun 1770 orang
Tionghoa sudah mencapai 20.000 orang. Mereka berdatangan berdasarkan pertalian
saudara, sekampung halaman, atau sesama kumpulan. Kelompok Tionghoa ini
membentuk Kongsi (perusahaan) untuk melindungi mereka. Lo Fang Pak diangkat
menjadi ketua.
Pada tahun 1776, 14 Kongsi disatukan membentuk He Soon 14 Kongsi guna menjaga kesatuan dari ancaman persengketaan antar kumpulan, daerah asal, dan darah. Pada saat itu Lo Fang Pak mendirikan Lan Fang Kongsi, kemudian menyatukan semua orang golongan Hakka di daerah yang dinamakan San Shin Cing Fu (danau gunung berhati emas), dan mendirikan kota Mem-Tau-Er sebagai markas besar dari group perusahaannya.
Pada masa itu Khun Tian (Pontianak)
yang berlokasi di hilir Sungai Kapuas, merupakan daerah perdagangan yang
penting dan dikuasai oleh Sultan Abdulrahman. Daerah hulu sungai dikuasai oleh
orang Dayak. Usaha Sultan Mempawah yang bertetangga dengan Pontianak untuk
membangun sebuah istana di hulu sungai menyebabkan pertikaian antara kedua
sultan ini. Terjadilah perang antara kedua negeri itu. Sultan Abdulrahman
meminta bantuan Lo Fong Pak. Karena istana tersebut dibangun dekat wilayah Lan
Fong Kongsi, Lo Fong Pak akhirnya memutuskan untuk membantu Sultan Pontianak
dan berhasil mengalahkan Mempawah. Sultan Mempawah yang dikalahkan bergabung
dengan orang Dayak dan melakukan serangan balasan. Sekali lagi Lo Fong Pak
berhasil mengalahkan Sultan Mempawah, sehingga mengungsi ke arah utara, yaitu
Singkawang, dimana ia dan Sultan Singkawang (Sambas) menandatangani perjanjian
damai dengan Lo Fong Pak. Peristiwa itu secara dramatis melambungkan popularitas
Lo Fong Pak. Ketika itu dia berusia 57.
Sejak saat itu, orang-orang Tionghoa dan penduduk setempat mencari perlindungan kepada Lo Fong Pak. Kekuatan dan prestise Lo Fong Pak semakin meningkat. Ketika Sultan Pontianak menyadari tidak mampu melawan Lo Fong Pak, ia sendiri meminta perlindungan dari Lo Fong Pak. Lalu Lo Fong Pak mendirikan sebuah pemerintahan dengan menggunakan nama kongsinya, sehingga nama kongsinya menjadi nama republik, Republik Lan Fong, yang jika dihitung sejak tahun berdirinya, 1777, berarti sepuluh tahun lebih awal dari pembentukan negara Amerika Serikat (USA) oleh George Washington tahun 1787.
Ketika itu masyarakat ingin Lo Fong Pak menjadi Sultan, namun ia menolak dan memilih kepemerintahan seperti sistem kepresidenan. Lo Fong Pak terpilih melalui pemilihan umum untuk menjabat sebagai presiden pertama, dan diberi gelar dalam bahasa Mandarin “Ta Tang Chung Chang” atau Presiden. Konstitusi negeri itu menyebutkan bahwa posisi Presiden dan Wakil Presiden Republik tersebut harus dijabat oleh orang yang berbahasa Hakka.
Ibukota Republik Hakka ini adalah Tung Ban Lut (Mandor). “Ta Tang Chung Chang” (Presiden) dipilih melalui pemilihan umum. Menurut konstitusinya, baik Presiden maupun Wakil Presiden harus merupakan orang Hakka yang berasal dari daerah Ka Yin Chiu atau Thai Pu. Benderanya berbentuk persegi empat berwarna kuning, dengan tulisan dalam bahasa Mandarin “Lan Fang Ta Tong Chi”. Bendera presidennya berwarna kuning berbentuk segitiga dengan tulisan ‘Chuao’ (Jenderal). Para pejabat tingginya memakai pakaian tradisional bergaya China, sementara pejabat yang lebih rendah memakai pakaian gaya barat. Republik tersebut mencapai keberhasilan besar dalam ekonomi dan stabilitas politik selama 19 tahun pemerintah Lo Fong Pak.
Dalam tarikh negara samudera dari Dinasti Qing tercatat adanya sebuah tempat dimana orang Ka Yin (dari daerah Mei Hsien) bekerja sebagai penambang, membangun jalan, mendirikan negaranya sendiri, setiap tahun kapalnya mendarat di daerah Zhou dan Chao Zhou (Teochiu) untuk berdagang. Sementara dalam catatan sejarah Lan Fong Kongsi sendiri terungkap bahwa setiap tahun mereka membayar upeti kepada Dinasti Qing seperti Annan (Vietnam).
KEMUNDURAN DAN KEJATUHAN.
Lo Fong Pak meninggal pada tahun 1795, tahun kedua dideklarasikannya republik tersebut (1793). Ia telah hidup di Kalimantan lebih dari 20 tahun. Pada usia ke 47 berdirinya republik tersebut, yaitu pada masa pemerintahan presiden kelima, Liu Tai Er (Hakka: Liu Thoi Nyi), Belanda mulai aktif melakukan ekspansi di Indonesia dan menduduki wilayah tenggara Kalimantan. Liu Tai Er terbujuk oleh Belanda di Batavia (kini Jakarta) untuk menandatangani suatu pakta non-agresi timbal-balik. Penandatanganan pakta tersebut praktis berarti menyerahkan rezim Lan Fong ke dalam kekuasaan Belanda. Munculnya pemberontakan penduduk asli semakin melemahkan pemerintahan Lan Fong. Lan Fong kehilangan otonomi dan menjadi sebuah daerah protektorat Belanda. Belanda membuka perwakilan kolonialnya di Pontianak dan mencampuri urusan republik tersebut. Pada tahun 1884 Singkawang menolak diperintah oleh Belanda, sehingga diserang oleh Belanda. Belanda berhasil menduduki Lan Fong Kongsi, namun kongsi tersebut mengadakan perlawanan selama 4 tahun, tetapi akhirnya dikalahkan, menyusul kematian Liu Asheng (Hakka: Liu A Sin), presidennya yang terakhir. Warganya mengungsi ke Sumatera. Karena takut mendapat reaksi keras dari pemerintahan Qing, Belanda tidak pernah mendeklarasikan Lan Fong sebagai koloninya dan memperbolehkan seorang keturunan mereka menjadi pemimpin boneka.(b salman)
NAMA PIMPINAN LAN FONG
No. Nama Periode Peristiwa Penting dalam Masa Pimpinannya
1. Lo Fong pak 罗芳伯 1777-1795 Pendirian Langfong Kungsi di Mandor pada tahun 1777.
2. Kong Meupak 1795-1799 Perang dengan Panembahan Mempawah.
3. Jak Sipak 1799-1803 Konflik dengan orang Dayak dari Landak.
4. Kong Meupak 1803-1811
5. Sung Chiappak 1811-1823 Ekspansi tambang di Landak.
6. Liu Thoinyi 1823-1837 Sudah di bawah pengaruh kolonial Belanda.
7. Ku Liukpak 1837-1842 Konflik dengan Panembahan Landak dan kemerosotan kongsi.
8. Chia Kuifong 1842-1843
9. Yap Thinfui 1843-1845
10. Liu Konsin 1845-1848 Pertempuran dengan orang Dayak Landak.
11. Liu Asin 1848-1876 Ekspansi tambang ke kawasan Landak.
12. Liu Liongkon 1876-1880
13. Liu Asin 1880-1884 Kejatuhan LanfAng Kongsi pada tahun 1884.
BERDIRINYA
Republik Lan Fang
Lo Fang Pak mendirikan pemerintahan,
dengan mengambil nama dari perusahaannya. Pada tahun 1777 berdirilah Republik
Lan Fang, 10 tahun lebih awal dari Amerika Serikat (1787). Ketika itu banyak
orang meminta Lo Fang Pak menjadi Sultan (monarchi), tapi beliau menolak dan
tetap menempatkan dirinya sebagai Presiden dalam pemerintahan yang bersistem
republik, dan presidensil.
ZAMAN KEEMASAN
Lo Fang Pak dalam masa pemerintahannya telah menjalankan system perpajakan, dan mempunyai kitab undang undang hukum, menyelenggarakan system pertanian dan pertambangan yang terarah, membangun jaringan transportasi, dan mengusahakan ketahan ekonomi berdikari lengkap dengan perbankannya. Sistem pendidikan tetap diperhatikan bahkan semakin dikembangkan, seperti diketahui bahwa Lo Fang Pak sendiri asalnya memang seorang guru.
Republik Lan Fang bukan hanya disegani
kekuatan militernya tapi juga keahlian mereka dalam mengusir buaya di kawasan
muara kapuas. Ini membuat para bumiputera dan hoakiau menaruh hormat kepada
Presiden Lo Fang Pak.
Kun Tien atau lazimnya disebut Pontianak sekarang yang mana terletak di muara sungai Kapuas merupakan daerah niaga yang di kuasai oleh Sultan Abdulrachman. Sedangkan hulu sungai Kapuas di pegang oleh Kelompok Dayak. Kesultanan yang berbatasan dengan Kun Tien adalah Mempawah. Sultan Kun Tien mencoba membangun istana agak ke hulu sungai yang mana dekat dengan perbatasan Kesultanan Mempawah dan ini memicu perang antara kedua kesultanan. Dalam perang ini (1794) Sultan Kun Tien dibantu oleh Lan Fang Kongsi karena kedekatan diantara mereka.
Sultan Mempawah kalah dalam perang lalu bergabung dengan Dayak dan melakukan serangan balasan. Lo Fang Pak kembali mematahkan kekuatan Sultan Mempawah, malah kali ini Sultan Mempawah didesak terus ke utara sampai Singkawang, kemudian berakhir dengan Sultan Singkawang dan Sultan Mempawah menandatangani perjanjian perdamaian dengan Lo Fang Pak. Segera setelah kejadian itu popularitas Lo Fang Pak melesat dramatis, ketika itu beliau berusia 57 tahun.
Setelah itu, rakyat, dan orang Tionghoa didaerah itu bergabung dengan Lo Fang Pak untuk mencari perlindungan, dan Sultan Kun Tien menyadari bahwa dia tidak sanggup melawan kekuatan militer Lo Fang Pak, maka Sultan sendiri meminta perlindungan dari Lo Fang Pak. Presiden Lo Fang Pak wafat pada tahun 1795, beliau sempat tinggal di Borneo selama lebih dari 20 tahun.
TAHUN-TAHUN TERAKHIR
Lan Fang
Pada saat republik Lan Fang berusia 47 tahun semasa kekuasaan president yang ke-5, Liew tai Er, Belanda mulai menjalankan ekspansinya di Indonesia dan mulai masuk ke Tenggara Borneo. Lama kelamaan Lan Fang kehilangan hak otonomi-nya, dan mulai menjadi bagian dari Hindia Belanda.
Kemudian Belanda membuka kantor
kolonialnya di Kun Tien dan mencampuri urusan Republik Lan Fang. Pada tahun
1884, Singkawang yang menolak dijajah oleh Belanda, mendapat serangan dari
Belanda dan Belanda akhirnya menduduki Lan fang Kongsi (1885). Lan Fang sempat
bertahan dan melawan selama 4 tahun, namun berakhir dengan kekalahan dan orang
orangnya melarikan diri ke Sumatra.
Takut akan reaksi keras dari pemerintahan Ching di Tiongkok, menyebabkan Belanda tidak pernah menyatakan menguasai Lan Fang, maka dibiarkan salah satu dari keturunan Lan Fang menjadi pemimpin disana. Baru setelah terbentuknya Republik of China (Cung Hwa Ming Kuok) 1911, maka pada tahun 1912 Belanda secara resmi menyatakan menguasai daerah itu.
Orang orang Lan Fang yang lari ke Sumatra bergabung lagi di Medan. Dari sana mereka menyebar ke Kuala Lumpur dan Singapura. Salah seorang dari keturunannya adalah Lee Kuan Yew. Hakka adalah kelompok minoritas di Singapura, namun orang Hakka memainkan peran penting dalam mendirikan Lan Fang Kongsi yang kedua di Singapura.
REKAMAN SEJARAH
Dari catatan sejarah Ching Dynasty, tercatat sbb: “ ada suatu tempat dimana orang Ka Yin (dari daerah Mei Hsien), menambang emas, membangun jalan, mendirikan negaranya, setiap tahun kapal-kapal niaga-nya berlabuh di Guang Zhou dan Chao Zhou. Dari catatan sejarah Lan Fang Kongsi diketahui mereka setiap tahunnya melakukan kunjungan kehormatan dengan armada dagangnya kepada Dinasti Ching, seperti yang dilakukan juga oleh Annan (Vietnam)”.
Ibu kotanya adalah Che Wan Li. Presiden The Ta Tang (Chon Chang) terpilih melalui pemilu. Kedua presiden dan wakilnya dari Hakka dari Ka Yin dan daerah Ta Pu. Benderanya empat persegi panjang berwarna kuning dengan lambang dan kata kata Lan Fang Ta Tong Chi. Panji kepresidenan berbentuk segi tiga berwarna kuning dengan kata Chuao (Jenderal). Pejabat tingginya berpakaian ala Tiongkok kuno, sedangkan yang berpangkat lebih rendah mengenakan pakaian ala barat.
Kabarnya di Pontianak ada prasasti kenangan yang dibuat untuk beliau , Juga di Mei Shien Tiongkok ada prasasti sejenis disebuah sekolah yang dinamakan San Mei Pei Cung Shueh.
Kaum Hakka adalah satu kelompok etnis
yang unik, bahkan di China sendiri. Orang Hakka juga disebut juga dengan sebutan
orang Khek, orang Khe Cia, dan nama lain, tergantung pengucapan dengan dialek
yang mana. Cara pengucapan Hakka sendiri untuk dirinya adalah orang Hakka (Hak
= tamu/pendatang; Ka = keluarga). Jadi secara harafiah, arti Hakka adalah
'kaum pendatang'. Walaupun masih termasuk kelompok etnis Han,
orang Hakka dianggap kaum perantau dalam China sendiri, karena itu dinamakan
Hakka. Mereka yang dianggap 'pribumi' dalam satu tempat
dinamakan kaum Punti (Pen-ti-ren = orang lokal).
Karena dianggap kaum pendatang, di China sendiri mereka harus berhati-hati, dan sering kali ada friksi dengan kaum Punti. Dan banyak dari mereka ada pada posisi yang tidak menguntungkan. Kalau orang local berdomisili di daerah pusat-pusat perdagangan, di kota-kota pelabuhan utama, seperti orang Hokkian, Canton, atau Teochew, orang Hakka masuk ke pedalaman, di daerah berbukit, dimana mereka kurang lebih terisolasi. Rumah-rumah clan Hakka bentuknya seperti benteng pertahanan dibangun di daerah perbukitan. Bentuk rumah itu mencerminkan perasaan tidak aman pada clan tersebut. Secara ekonomis, orang Hakka juga kurang beruntung dibanding dengan kaum Punti.
Tetapi orang Hakka terkenal keuletannya. Kalau orang tionghoa terkenal ulet, maka keuletan orang Hakka itu double-tionghoa. Ditempat-tempat perbukitan dimana daerah miring sukar untuk dikultivasi, orang Hakka bisa mengubah tempat yang tidak layak tanam menjadi tanah produktif. Mereka tahan banting, berusaha lebih keras dari penduduk local untuk mengimbangi posisi sosial mereka yang underdog.
Kondisi demikian menjadikan orang Hakka
lebih independent-minded (berpikiran bebas), lebih mudah melepaskan diri dari
tradisi dan menangkap idea baru untuk hidup. Tidak heran, orang Hakka adalah
termasuk orang tionghoa yang cepat mengadopsi ide-ide Barat dibanding dengan
yang lain dan mengkombinasikannya dengan budaya Hakka. Dan tekanan kepahitan
hidup yang mereka rasakan menjadikan mereka lebih mudah menjadi kaum
revolusioner, lebih progresif, dan lebih berani maju untuk menuntut
pembaharuan, dan banyak pelopor-pelopor pembaharuan yang berasal dari Hakka.
Fleksibilitas orang Hakka dalam menyerap ide-ide baru, tidak bersikeras untuk
mempertahankan tradisi lama yang menghambat, menjadikan Hakka sebagai etnis
yang unik dalam sejarah China modern.
Bukan kebetulan, kalau pemberontakan terbesar di China pada abad ke-19 yang melibatkan puluhan juta manusia, dan termasuk pemberontakan paling berdarah dalam sejarah kemanusiaan, dimotori oleh orang Hakka. Pemberontakan Taiping dengan pemimpinnya Hong Xiuquan hampir meruntuhkan Dinasti Qing. Sejarah Dunia terlalu kecil memberi perhatian pada Pemberontakan Taiping, yang sebenarnya jauh lebih besar daripada banyak pemberontakan-pemberontakan di Eropa. Dengan ditumpasnya pemberontakan Taiping dengan susah payah oleh pasukan Qing, menambah tekanan terhadap orang-orang Hakka tersebut.
Dalam kurun waktu yang tak begitu berbeda, pada paruh kedua Abad-19, terjadi lagi Perang Etnis yang paling berdarah di China, terjadi di Canton. Friksi antara orang Hakka dengan orang-orang local di propinsi itu memuncak dengan kekerasan berdarah selama bertahun-tahun, yang menyebabkan banyak orang Hakka terusir keluar dari daerah gejolak, dan berimigrasi ke seluruh dunia.
Pendapat lain yang mencoba menerangkan sikap revolusioner orang-orang Hakka ini adalah bahwa orang Hakka sebagai suku pendatang, tidak mempunyai akar di suatu daerah sekuat kaum Punti, dan tradisi kaum Hakka tidak sekonservatif tradisi kaum Punti. Ketika wanita-wanita elite dan kaya di China dulu mengecilkan kaki, orang Hakka tidak melakukannya karena mereka harus bekerja. Karena itu wanita Hakka sering disebut & quot; wanita berkaki besar & quot;, padahal sebenarnya kaum petani Punti juga banyak yang tidak membalut kaki dan berkaki besar juga. Mungkin streo type itu terjadi karena wanita Hakka banyak yang lebih berpikiran independen dan tidak terlalu tergantung dengan kaum lelaki, dibanding dengan wanita-wanita Punti. dari kelompok orang-orang terdesak ini, lahir pemimpin-pemimpin besar china modern. dr. sun yat sen, the bapak republik memulai deretan pemimpin-pemimpin besar china asal hakka. kemudian keluarga soong, yang sering disebut sebagai 'dinasti keluarga' terakhir dari china (seperti 'dinasti' kennedy amerika). dari jajaran pemimpin komunis china, kita dapatkan zhang guotao, salah satu pendiri dan pimpinan partai komunis; zhu de, pendiri tentara pembebasan rakyat; deng xiaoping, pemimpin china yang membawa arus pemikiran pragmatis ke dalam ideologi komunis. daftar pimpinan di china bisa berlanjut panjang, termasuk reformis hu yaobang, sekretaris jendral partai yang tersingkir sesudah peristiwa tiananmen. mao zedong sendiri, dikabarkan sebagai orang hakka yang berasal dari propinsi hunan.
Walaupun etnis tionghoa majoritas di Singapore adalah Hokkian dan Teochew, lahir darinya kaum Hakka pemimpin Singapore Lee Kuan Yew, yang berpikiran progresif mendesak masyarakat Singapore keluar dari pemikiran tradisional ke pemikiran modern, dan tentu juga Lee Hsien Loong, Perdana Menteri saat ini. Di Taiwan, presiden sesudah turunnya keluarga Chiang, Lee Teng Hui, adalah orang Hakka; Chen Shui-bian, presiden Taiwan yang beroposisi dengan China daratan, juga orang Hakka. Perdana Menteri Thailand, Thaksin Shinawatra, orang Hakka dari propinsi Chiang Mai di Thailand Utara. Gubernur Jendral Canada yang untuk periode lalu, yang secara formal merupakan wakil Queen Elizabeth di Canada, Adriane Clarkson, terlahir dari keluarga Hakka Canada yang terkenal, keluarga Poy.
Untuk Hakka dari Indonesia, mungkin kita bisa lahirkan deret panjang. Termasuk sesuatu yang sebenarnya dilupakan sejarah, tetapi menurut saya tidak boleh dilupakan. Di Kalimantan Barat, sebelum Belanda mampu menanamkan kekuasaan kolonial disana, berdiri satu state independen dengan bentuk mirip Republik, yaitu Lan-fang (sering disebut Republic of Lan-fang). Sistem pemerintahan Lan-fang dibentuk dan dikoordinir oleh pekerja tambang dari Hakka.
Dalam sejarah Indonesia, ada banyak
orang tionghoa yang naik posisi karena hubungan dengan pemerintah kolonial
Belanda. Mereka dijadikan kapiten orang tionghoa. Di antara para kapiten itu,
ada satu kapiten yang ikut berperan dalam proses modernisasi di China. Dia
adalah kapiten dari Deli, Sumatera Utara, yang bernama Chang Yunan, seorang
Hakka asal distrik Mei dekat Swatow. Salah satu issue modernisasi di China
adalah pembentukan jalan kereta api. Pada awalnya hal itu ditentang oleh para
konservatif yang selalu menentang apapun yang dianggap datang dari Barat dan
baru. Pernah dibangun proyek kecil, lalu dibongkar. Kekalahan Dinasti Qing dari
negara-negara Eropa dan Jepang, sedikit banyak disebabkan oleh masalah
transportasi dan logistik yang parah. Sejak itu kereta api menjadi simbol
desakan modernisasi di China. Tetapi ada masalah, dari mana biaya pembangunan
jalan kereta api? Itu adalah proyek pembangunan besar. Chang Yunan dari Deli
itu, adalah tionghoa perantau yang pertama melakukan investasi dalam jumlah
besar untuk membangun jalan kereta api di distrik Teochew di Canton. Kenapa
harus di Teochew? Karena dia orang Hakka yang berasal dari Meixian, dan saluran
keluar orang Meixian ke pelabuhan besar adalah lewat Swatow, daerah Teochew.
Jadi jalan kereta api itu akan membawa keuntungan besar pada orang Meixian.
Investasi itu merupakan pendorong besar modernisasi sarana tranportasi di
China.
Dengan melihat sekilas peran orang Hakka, baik di China maupun di tempat-tempat lain di dunia, membuat kita berpikir, kenapa ada kelompok sub-etnis yang jumlahnya kecil bisa berperan sangat besar? Kemungkinan, jawabannya adalah, bahwa perubahan dimulai dari perubahan paradigma yang ada pada pikiran manusia. Orang Hakka lebih mampu untuk keluar dari kekangan tradisi yang penghambat pembaharuan, dan mereka cepat mengambil kesempatan sebagai pelopor.
Rumah orang hakka/ke jia (khe & #039; cia)di china daratan di daerah pegunungan kabupaten yong ding propinsi fujian,china selatan disebut ke jia tu lou(khe & #039; cia thu lou) yang berarti gedung tanah ke jia(khe & #039; cia), berbeda dengan orang han lainnya orang ke jia (khe cia) dalam masakan lebih mengutamakan masakan sapi dibanding babi.orang ke jia (khe cia) berasal dari masyarakat lembah sungai kuning kuno di utara yang hijrah ke selatan karena menghindari perang besar zaman qunjiu (sekitar tahun 770 sm-476 sm).
SEJARAH KONGSI
Kongsi adalah perkumpulan pertambangan
Cina di wilayah barat Pulau Borneo / Kalimantan. Pertambangan-pertambangan yang
dikerjakan oleh orang-orang China ini adalah tambang-tambang emas yang tersebar
di pesisir utara Wilayah Kalimantan sebelah barat ini. Sebagian besar
tambang-tambang emas itu berada di wilayah kekuasaan Kesultanan Sambas.
Orang-orang China yang mengerjakan tambang-tambang emas itu pertama kali datang
ke wilayah Kalimantan Barat ini adalah pada tahun 1740 M yang didatangkan oleh
Raja Panembahan Mempawah yaitu Opu Daeng Manambon. Kemudian pada sekitar tahun
1750 M Sultan Sambas ke-4 yaitu Sultan Abubakar Kamaluddin juga mendatangkan
orang-orang China untuk pertama kali wilayah Kesultanan Sambas untuk
mengerjakan tambang-tambang emas di wilayah Kesultanan Sambas yaitu di daerah
Montraduk, Seminis dan Lara. Dalam hal ini status orang-orang China ini adalah
pekerja-pekerja tambang yang bekerja pada Sultan Sambas. Sebagian hasil tambang
itu disisihkan untuk upah para pekerja tambang emas itu dan sebagian lagi
adalah merupakan penghasilan bagi Kesultanan Sambas sebagai pemilik negeri.
Seiring dengan semakin berkembangnya
kegiatan pertambangan emas di wilayah kekuasaan Kesultanan Sambas, pada sekitar
tahun 1764 M terjadi gelombang besar-besaran orang-orang China yang didatangkan
oleh Sultan Sambas ke-5 yaitu Sultan Umar Aqamaddin II ke wilayah Kesultanan
Sambas menyusul begitu banyaknya ditemukan tambang-tambang emas baru di wilayah
kekuasaan Kesultanan Sambas ini.
Pada sekitar tahun1767 M jumlah
orang-orang China yang mengerjakan tambang-tambang emas di wilayah barat Pulau
Kalimantan ini khususnya di wilayah Kesultanan Sambas sudah mencapai hingga
belasan ribu orang.
Karena jumlah orang-orang China yang
semakin besar ini dan mereka berkelompok-kelompok berdasarkan wilayah
pertambangan masing-masing, maka pada sekitar tahun 1768 M, kelompok-kelompok
ini kemudian mendirikan semacam perkumpulan usaha tambang masing-masing yang
disebut dengan nama Kongsi. Kongsi-kongsi ini (yang saat itu berjumlah sekitar
8 Kongsi) menyatakan tunduk kepada Sultan Sambas namun Kongsi-kongsi itu diberi
keleluasaan secara terbatas oleh Sultan Sambas untuk mengatur Kongsinya sendiri
seperti pengangkatan pemimpin Kongsi dan pengaturan kegiatan pertambangan
masing-masing. Sedangkan mengenai hasil tambang emas, disepakati bahwa
Kongsi-kongsi berkewajiban secara rutin menyisihkan sebagian hasil tambang emas
mereka untuk diserahkan kepada Sultan Sambas bagi penghasilan Sultan Sambas
sebagai pemilik Negeri. Pada saat itu Sultan Sambas menerima bagi hasil dari
Kongsi-Kongsi China itu sebanyak 1 kg emas murni setiap bulannya, belum
termasuk penerimaan oleh Pangeran-Pangeran penting di Kesultanan Sambas dari
Kongsi-kongsi itu.
Pada tahun 1770 M mulai timbul semacam
pembangkangan dari kongsi-kongsi China yang ada di wilayah Kesultanan Sambas
ini terhadap Sultan Sambas. Pembakangan ini berupa penolakan mereka untuk
memberikan sebagian hasil tambang emas kepada Sultan Sambas yaitu sebesar 1 kg
emas murni setiap bulannya. Para kongsi itu hanya bersedia memberikan bagi
hasil tambang emas sebesar setengah kg atau separuh dari kesepakatan sebelumnya
padahal saat itu kegiatan pertambangan emas di wilayah Kesultanan Sambas ini
semakin berkembang.
Hal ini kemudian membuat Sultan Sambas
marah apalagi kemudian terjadi pembunuhan oleh orang-orang China Kongsi
terhadap petugas-petugas pengawas Kesultanan Sambas (yang adalah orang-orang
Dayak) yang ditugaskan oleh Sultan Sambas untuk mengawasi kegiatan tambang emas
Kongsi itu, sehingga kemudian Sultan Sambas saat itu yaitu Sultan Umar
Aqamaddin II mengirimkan pasukan Kesultanan Sambas menuju daerah kongsi-kongsi
yang melakukan makar dan pembakangan itu. Setelah gerakan pasukan Kesultanan
Sambas telah berlangsung selama sekitar 8 hari dan belum sempat terjadi
pertempuran besar antara pasukan Kesultanan Sambas dengan pihak kongsi,
kemudian pihak kongsi itu ketakutan hingga kemudian mengakui kesalahannya dan
bersedia untuk tetap membayar bagi hasil tambang emas kepada Sultan Sambas
sesuai dengan kesepakatan sebelumnya yaitu sebesar 1 kg emas setiap bulannya.
Versi lain mengungkapkan bahwa
sebenarnya ada kerja sama erat antara Kesultanan Pontianak dan Sambas dengan
kongsi tetapi pada perkembangannya Kesultanan Pontianak ditekan oleh Belanda
agar turut memusuhi kongsi. Akibatnya kerajaan2 menurunkan pasukannya menyerang
kongsi.
Semakin lama jumlah Kongsi yang ada
semakin bertambah dan pada sekitar tahun1770 M, telah ada sekitar 10 Kongsi di
wilayah Kesultanan Sambas dan saat itu terdapat 2 Kongsi yang terbesar yaitu
Kongsi Thai Kong dan Kongsi Lan Fong.
Pada tahun 1774 M terjadi pertempuran
antara kedua buah kongsi terbesar di wilayah Kesultanan Sambas yaitu Kongsi
Thai Kong dan Kongsi Lan Fong. Kongsi Thai Kong kemudian berhasil mengalahkan
Kongsi Lan Fong sehingga Kongsi Lan Fong bubar.
KEDATANGAN
Lo Fang Pak
Lo Fang Pak mulai bertualang pada usia
34 tahun. Dia merantau ke Kalimantan Barat saat ramainya orang mencari emas
(Gold Rush), dengan menyusuri Han Jiang menuju Shantao, sepanjang pesisir
Vietnam, dan akhirnya berlabuh di Kalbar (Wilayah Kesultanan Sambas) pada usia
sekitar 41 tahun yaitu pada sekitar tahun 1774 M.
Kedatangan orang-orang China dari
daratan China ini adalah atas permintaan sultan-sultan Melayu saat itu yang
mendatangkan para pekerja tambang emas dari daratan China yaitu untuk melakukan
kerja-kerja tambang yang memang keahlian dan kesulitan pekerjaan tambang saat
itu hanya dapat dilakukan dengan ketekunan dari orang-orang China. Permintaan
pekerja tambang dari China daratan saat itu merupakan satu trend yang
berkembang di kerajaan-kerajaan Melayu, yang dimulai oleh kerajaan Melayu yang
ada di Semenanjung Melayu kemudian kerajaan Melayu di pesisir utara dan timur
Sumatra lalu Kerajaan Melayu Brunei (yaitu pada masa Sultan Omar Ali Saifuddin
I) baru kemudian disusul oleh Kerajaan-Kerajaan Melayu yang berada di pesisir
wilayah Pulau Kalimantan bagian barat.
Kerajaan Melayu di pesisir barat Pulau
Kalimantan yang pertama mendatangkan pekerja tambang dari daratan China adalah
Panembahan Mempawah yang waktu Rajanya adalah Opu Daeng Manambung yaitu pada
sekitar tahun 1740 M. Kebijakan Panembahan Mempawah ini kemungkinan atas saran
dari Adik Opu Daeng Manambung yaitu Opu Daeng Celak yang saat itu sedang
menjabat sebagai Raja Muda di Kesultanan Riau yang telah lebih dahulu
mendatangkan pekerja dari China daratan untuk tambang timah di Kesultanan Riau
dan berhasil dengan baik. Namun demikian saat itu Panembahan Mempawah
mendatangkan orang-orang China untuk pekerja tambang (emas) pertama kali adalah
berjumlah 20 orang (kemungkinan para pakar mencari emas) yang sebelumnya telah
bekerja di Kesultanan Brunei.
Setelah itu didirikanlah pertambangan
emas yang dikerjakan oleh orang-orang Cina yaitu di daerah Mandor yang saat itu
merupakan wilayah Panembahan Mempawah. Setelah beberapa tahun mengerjakan
tambang emas di Mandor ini, para pakar pencari emas dari Cina ini kemudian
mengindikasikan satu tempat tak begitu jauh dari Mandor yang disinyalir banyak
mengandung emas. Namun wilayah itu adalah wilayah kekuasaan dari Kesultanan
Sambas yaitu daerah yang bernama Montraduk. Maka kemudian utusan pekerja
tambang emas Cina ini menghadap Sultan Sambas mengenai potensi emas di
Montraduk ini. Mendengar hal demikian Sultan Sambas kemudian mengijinkan untuk
membuka tambang emas di Montraduk oleh orang-orang Cina dengan syarat bagi
hasil yaitu sebagian hasil emas adalah untuk pekerja tambang dari Cina ini dan
sebagian hasil yang lain adalah untuk Sultan Sambas sebagai pemilik Negeri.
Maka kemudian dibukalah tambang emas di Montraduk pada sekitar tahun 1750 M
yaitu tambang emas kedua setelah di Mandor.
Sungguh di luar dugaan bahwa potensi
emas di wilayah Kesultanan Sambas ini sangat melimpah ruah. Setelah
Montraduk berturut-turut dibuka lagi tambang emas di Seminis, Lara, Lumar yang
semuanya di wilayah Kesultanan Sambas dan memberikan hasil emas yang sangat
memuaskan. Sebagai dampaknya gelombang kedatangan orang-orang China semakin
melimpah ke wilayah Kalimantan Barat ini khususnya di wilayah Kesultanan
Sambas. Mereka berdatangan berdasarkan pertalian keluarga, sekampung halaman
atau sesama kumpulan sehingga kemudian pada sekitar tahun 1770 M telah ada
sekitar lebih dari 20.000 orang-orang Cina pekerja tambang emas di wilayah
Kalimantan Barat ini yang sekitar 70 % dari jumlah pekerja tambang emas
itu adalah berada di wilayah Kesultanan Sambas yang berpusat di Montraduk.
Pada sekitar tahun 1775 M datang pemuka
masyarakat Hakka dari China yang bernama Lo Fong Pak ke daerah Kongsi yang ada
di Wilayah Kesultanan Sambas.
Pada Tahun 1776 M 14 buah Kongsi yang
ada di wilayah Kalimantan Barat ini yaitu 12 Kongsi di wilayah Kesultanan
Sambas yang berpusat di Montraduk dan 2 buah Kongsi di wilayah Panembahan
Mempawah yang berpusat di Mandor menyatukan diri dalam wadah lembaga yang bernama
Hee Soon yaitu untuk memperkuat persatuan di antara mereka dari ancaman
pertempuran antara sesama Kongsi seperti yang telah terjadi antara Kongsi Thai
Kong dan Lan Fong pada tahun 1774 M yang lalu. Salah satu dari 14 Kongsi itu
adalah Kongsi Lanfong yang dihidupkan lagi oleh Lo Fong Pak dengan Lo Fong Pak
sendiri yang menjadi ketuanya.
Setahun kemudian yaitu pada tahun 1777
M Lo Fong Pak memindahkan lokasi Kongsi Lan Fong ke lokasi lain dimana lokasi
Kongsi Lan Fong yang baru ini tidak lagi diwilayah Kesultanan Sambas tetapi
adalah di wilayah Panembahan Mempawah yaitu Mandor (Tung Ban Lut).
Walaupun telah mempunyai Kelompok Induk
yaitu Hee Soon, Kongsi-Kongsi ini tetap menyatakan tunduk dibawah Sultan Sambas
dan Panembahan Mempawah dimana 12 Kongsi tunduk dibawah naungan Sultan Sambas
dan 2 Kongsi tunduk dibawah naungan Panembahan Mempawah. Namun Kongsi-Kongsi
diberi kewenangan untuk mengangkat pemimpin Kongsi dan mengatur pertambangan
serta wilayah sekitarnya sesuai dengan lokasi tambangnya (semacam daerah
otonomi distrik).
Di Mandor, Lo Fong Pak, Ketua Kongsi
Lan Fong kemudian menyatukan orang-orang Hakka yang ada di wilayah Mandor dalam
organisasi yang bernama San Shin Cing Fu (karena di wilayah Mandor saat itu
juga terdapat orang-orang Cina selain Suku Hakka / Khek yaitu orang Thio Ciu,
berbeda dengan Kongsi-kongsi Cina yang ada di wilayah Kesultanan Sambas yang
seluruhnya adalah dari Suku Hakka / Khek).
Pada tahun 1778 M terjadi peninggkatan
derajat kekuasaan di daerah Muara Sungai Landak dimana Syarif Abdurrahman Al
Qadri yang tadinya Ketua dari Kampung Pontianak (terbentuk pada tahun 1771 M)
yang terletak di Muara Sungai Landak kemudian pada tahun itu mengangkat dirinya
menjadi Sultan pertama dari Kesultanan Pontianak. Berdirinya Kesultanan
Pontianak di Muara Sungai Landak ini kemudian menimbulkan protes keras dari
Raja Kerajaan Landak karena secara historis wilayah muara Sungai Landak adalah
merupakan daerah kekuasaan Kerajaan Landak. Namun VOC Belanda karena
kepentingan ekonomi terhadap daerah muara Sungai Landak ini kemudian berdiri di
belakang Kesultanan Pontianak sehingga membuat Raja Landak mengendurkan protes
kerasnya.
Berkuasanya Sultan Syarif Abdurrahman
di muara Sungai Landak sedikit banyak membuat Kongsi Lan Fong bergantung pada
aktivitas di muara sungai itu sehingga inilah salah satu yang kemudian membuat
Lo Fong Pak lebih dekat kepada Sultan Pontianak dibandingkan kepada Panembahan
Mempawah padahal Kongsi Lan Fong saat itu masih dibawah naungan dari Panembahan
Mempawah.
Pada tahun 1789 M, Sultan Pontianak
dengan dukungan Belanda melakukan serangan terhadap Panembahan Mempawah dengan
tujuan merebut wilayah Panembahan Mempawah. Untuk mendukung serangan ini Sultan
Pontianak saat itu juga mengajak Lo Fong Pak (Kongsi Lan Fong untuk ikut serta
dalan serangan kepada Panembahan Mempawah ini dan Kongsi Lan Fong kemudian juga
mengirimkan pasukannya membantu pasukan Sultan Pontianak. Menghadapi serangan
ini, Panembahan Mempawah kalah yang kemudian Raja Panembahan Mempawah yaitu mengundurkan
dirinya ke daerah Karangan dan kemudian menetap disana.
Sejak saat itu hubungan Lo Fong Pak
(Kongsi Lan Fong) dengan Sultan Pontianak menjadi semakin kuat dan dekat
sehingga kemudian Lo Fong Pak (Kongsi Lan Fong) diberikan kewenangan yang lebih
luas lagi (semacam daerah otonomi khusus) namun tetap berada dibawah naungan
Kesultanan Pontianak. Peristiwa ini terjadi ketika usia Lo Fong Pak mencapai
usia 57 tahun yaitu pada sekitar tahun 1793 M.
Cara Pemilihan Ketua Kongsi Lan Fan
saat itu menurut pemahaman zaman sekarang ini adalah sangat demokratis yaitu
Ketua Kongsi dipilih melalui pemilihan umum oleh seluruh warga Kongsi. Karena
cara pemilihan ini sehingga oleh sebagian orang yang menterjemahkan tulisan Yap
Siong Yoen (anak tiri dari Kapitan Kongsi Lan Fang yang terakhir)dan tulisan
J.J. Groot (sejarawan Belanda) mengenai Kongsi Lan Fang yang di interpretasikan
terlalu jauh sehingga Kongsi Lan Fang diartikan adalah "Republik Lan
Fang" padahal di dalam kedua-dua tulisan itu tidak ada kata Republik.
Disamping itu kata Republik adalah
untuk sebutan bagi suatu negara / wilayah yang merdeka sedangkan Kongsi Lan
Fang saat walaupun mendapat status otonomi khusus namun tetap berada dibawah
naungan Kesultanan Pontianak sehingga bukan merupakan suatu negara merdeka.
Oleh karena itu apa yang disebut sebagai "Republik Lan Fang" itu
tidak pernah ada, yang ada adalah Kongsi Lan Fang yang mendapat status otonomi
khusus dari Sultan Pontianak.
Lo Fang Pak kemudian terpilih kembali
melalui sistem pemilihan umum untuk menjabat sebagai Ketua Daerah Otonomi
Kongsi Lan Fong, dan diberi gelar dalam bahasa Mandarin "Ta Tang Chung
Chang" atau Kepala Daerah Otonomi. Peraturan Kongsi Lan Fong menyebutkan
bahwa posisi Ketua dan Wakil Ketua Kongsi Lan Fong harus dijabat oleh orang
yang berbahasa Hakka.
Pusatnya tetap di Mandor dan Ta Tang
Chung Chang (Ketua Kongsi) dipilih melalui pemilihan umum. Menurut aturannya,
baik Ketua maupun Wakil Ketua Kongsi harus merupakan orang Hakka yang berasal
dari daerah Ka Yin Chiu atau Thai Pu. Benderanya berbentuk persegi empat
berwarna kuning, dengan tulisan dalam bahasa Mandarin "Lan Fang Ta Tong
Chi". Bendera Lo Fong Pak (Ketua Kongsi Lan Fong) berwarna kuning
berbentuk segitiga dengan tulisan "Chuao" (Jenderal). Para pejabat
tingginya memakai pakaian tradisional bergaya Tionghoa, sementara pejabat yang
lebih rendah memakai pakaian gaya barat. Kongsi Lan Fong tersebut mencapai
keberhasilan besar dalam ekonomi dan stabilitas keamanan selama 19 tahun
kepemimpinan Lo Fang Pak.
Dalam tarikh negara samudera dari
Dinasti Qing tercatat adanya sebuah tempat dimana orang Ka Yin (dari daerah Mei
Hsien) bekerja sebagai penambang, membangun jalan, mendirikan negaranya
sendiri, setiap tahun kapalnya mendarat di daerah Zhou dan Chao Zhou (Teochiu)
untuk berdagang. Sementara dalam catatan sejarah Kongsi Lan Fong sendiri
terungkap bahwa setiap tahun mereka membayar upeti kepada Dinasti Qing seperti
Annan (Vietnam).
KEJATUHAN KONGSI
Lan Fong
Lo Fong Pak meninggal pada tahun 1795,
tahun kedua dideklarasikannya Daerah Otonomi Khusus tersebut (1793). Ia telah
hidup di Kalimantan lebih dari 20 tahun. Pada usia ke 47 berdirinya Kongsi Lan
Fong tersebut, yaitu pada masa pemerintahan Ketua Kongsi kelima, Liu Tai Er
(Hakka: Liu Thoi Nyi), Belanda mulai aktif melakukan ekspansi di Indonesia dan
menduduki wilayah tenggara Kalimantan. Liu Tai Er terbujuk oleh Belanda di
Batavia (kini Jakarta) untuk menandatangani kesepakatan kerjasama dengan
Belanda. Penandatanganan kesepakatan tersebut kemudian membuat Kongsi Lan Fong
dalam pengaruh Belanda. Munculnya pemberontakan penduduk asli semakin
melemahkan Kongsi Lan Fang. Kongsi Lan Fang kemudian kehilangan otonomi dan
beralih dari daerah dibawah naungan Sultan Pontianak menjadi sebuah daerah
protektorat Belanda. Belanda membuka perwakilan kolonialnya di Pontianak dan
mengendalikan sepenuhnya Kongsi Lan Fong dengan melantik Ketua Kongsie sebagai
regent.
Pada tahun 1884 M Kongsi Thai Kong yang
berpusat di Montraduk menolak diperintah oleh Belanda, sehingga Kongsi Thai
Kong diserang oleh Belanda. Belanda berhasil menduduki Thai Kong Kongsi, namun
kongsi tersebut mengadakan perlawanan selama 4 tahun. Perlawan Kongsi Thai Kong
terhadap Belanda ini juga kemudian melibatkan Kongsi Lan Fong sehingga Kongsi
Lan Fong kemudian juga diserang Belanda dan ditaklukkan Belanda, menyusul
kematian Liu Asheng (Hakka: Liu A Sin), Ketua Kongsi Lan Fong yang terakhir.
Sebagian warga Kongsi Lan Fong kemudian mengungsi ke Sumatera. Karena takut
mendapat reaksi keras dari pemerintahan Qing, Belanda tidak pernah
mendeklarasikan Lan Fong sebagai koloninya dan memperbolehkan seorang keturunan
mereka menjadi pemimpin boneka.
Sumber: dari berbagai sumber kemudian
di satukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar